Ya, LYphy, maafkanaku– dan ayahku.
Sekolah mulai lengang. Titik-titik hujan mulai terlihat menjuntai di mendung hitam. Mentari seakan benar-benar takluk di peperangan pukul tiga sore ini, menghadapi kilat-kilat yang menyambar-nyambar. Ah, rasakanlah, dingin mulai mengalir di lekuk punggung membasahi sendi-sendi di sekujuran tubuh. Gadis mungil itu masih di kelas. Entah kenapa, ia belum juga bergelayutan di serambi depan kelas atau di halte depan sekolah-meski sudah tak seorang pun disana. Lengang. Atau hanya rasaku saja. Ia masih tetap tenang menggoreskan penanya di secarik kertas itu. Lihatlah... benar-benar nyenyak ia dalam meditasinya. Mungkin kata-kata ini belum cukup benar melukis apa yang kulihat, tapi seperti itulah.
Lalu bagaimana bisa aku tahu ini? Jika kuceritakan, maka panjanglah juga lama rasanya. Tidak seperti bahasa TERE LIYE yang selalu menyebut waktu atau jarak dengan sepelemparan batu. Atau mendeskripsikan situasi seperti halnya gang-gang kecil di pinggiran sungai yang seringkali lengang itu. Atau adjektiva-adjektivanya yang melambai. Bukan, ini bahkan lebih rumit dari sungai itu sendiri, atau adjektiva dan batu apa itulah.. Kisah ini mengisahkan kisah-kisah lain, bila kau ingin tahu saja.
3 bulan yang lalu....
Entah, serba tak tahu aku kali ini. Kamar tidurku terasa sesak. Pengap tak kukira. Lemari dan dispenser serta tv tak pernah sedikit pun terasa ada sebelumnya, tapi sekarang benar-benar mereka mengisi penuh kamarku. Mengisi lubang hidungku, menutup erat-erat pelupuk mata. Ah runyam sekali, buta dan kalut. Aku mungkin saja mabuk, atau-ah entahlah. Yang kutenggak di Elphodibar hanya separuh gelas saja.
Atau hanya pikiranku saja yang mabuk, bukan perasaanku.
Atau perasaan dan pikiranku? Ah, sial! Entahlah, aku benar-benar tak berlangkah di rumah ku ini saat-saat ini.
Lumut hijau dipojok kamarku itu tak pernah kulihat sedikitpun di rumahku yang kemarin sore masih kutinggali. Huh! Sukses benar ayah mempermainkan kami. Entah kabur kemana ia akhir-akhir ini. Kerja tak karuan. Pergi pagi benar dan pulang benar-benar di pagi lagi. Sayang, bukan ia bekerja lembur atau apalah. Kata “kerja” hanyalah sepeluncuran liur yang mengalir dari mulutnya yang getir. Ia pergi mencari kesenangan saja beberapa bulan terakhir ini. Setelah ia dipecat karena-yangkudengar-pengerucutan pekerja dikantornya, ia frustasi. Dan sayang, paragraf ini akan benar-benar penuh sayang. Ya, ia mencari rasa baru dan rasa baru untuk mengobati lukanya. Dengan luka-luka baru. Ah, betapa parahnya ayahku. Bukan, bukan ayahku lagi. Sayangnya.
.................................
“pak,...”, sapaku kepada lelaki separuh baya itu.
Ia menjawab panggilanku dengan segala kewibawaannya, semilir angin sore di taman menggerak-gerakan setelan kasualnya juga segelintir rambut di kepalanya. Ah, betapa beruntung aku bertemu bekas direktur ayahku. Ya, seperti yang kudengar, bekas.
Obrolan kaku. Tetapi sepercik demi sepercik kata kucoba gelontorkan demi membuka mengapalah ayahku benar-benar tak lagi seperti ayahku.
Sang mantan direktur ayahku hanya menghembus nafas berat. Entah apa yang harus dijawab atas luapan rasa penasaranku padanya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menyeruakkan segala sesuatu tentang ayah yang menghantuiku akhir-akhir ini.
Direktur itu mengungkapkannya. Ia mengungkapkan bahwa ayahku dipecat karena telah mencuri berkas-berkas penting dikantor tersebut. Bahkan ayahku juga dituduh melakukan tindakan korupsi.
Aku menahan nafas mendengar rentetan penjelasan dari sang direktur. Seburuk inikah perangai ayahku di mata mereka? Lalu, mengapa ayah bahkan nyaris tidak peduli dengan permasalahannya?
Aku merasa ada hal ganjil yang terus menggantung di pikiranku, tentang ayahku. Ayah yang tak pantas menjadi seorang ayah.
~
Hujan masih betah mengguyur bumi pertiwi sejak tiga jam yang lalu. Aku masih berdiam diri di serambi kantor ayah untuk menunggu hujan reda. Namun harapanku harus musnah karena rintik-rintik air yang berbondong-bondong terjatuh tak kunjung berhenti.
Mau tidak mau aku mulai menerobos hujan dan menerjang percikan air yang menggenang di jalanan beraspal. Baju resmi yang sengaja kupakai pun basah kuyup. Untung saja aku membawa jaket tebal. Setidaknya ia bisa melindungiku dari kuman-kuman yang berkembangbiak saat hujan.
Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku tergesa. Senja sudah mulai berakhir, dan itu berarti aku harus cepat pulang. Sial! Jalan menuju rumah baruku masih terbilang jauh, dan kini lelah mulai mengancam tubuhku.
Akhirnya kupilih beristirahat disebuah gubuk kecil yang kurasa sudah tidak dipakai lagi untuk melemaskan otot dan sendi yang kian menegang. Sudut mataku juga terus beredar luas kepenjuru gubuk kecil ini.
Tiba-tiba pupil mataku melihat sesosok gadis terduduk disudut ruangan seraya meringkuk dengan pandangan kosong. Rambutnya yang menjuntai panjang, pakaiannya yang basah kuyup, dan juga wajahnya yang pucat pasi itu membuatku tak dapat mengalihkan pandanganku sedikitpun.
Gadis itu menyadari atas tatapanku barusan. Sejenak kami hanya bertatapan, hampa dan tanpa arti. Akhirnya kupilih untuk mendekatinya, hanya untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Air muka gadis itu berubah ketika aku mulai mendekatinya perlahan. Kedua tangannya bergetar hebat, dan ia menundukkan kepalanya, takut. Takut seolah-olah ia sedang melihat hantu.
“Kau tak apa?” Tanyaku dengan suara yang telah kubuat merdu. Kini aku telah berada dihadapan gadis itu, berjongkok didepannya.
Gadis itu perlahan mendongak. Betapa terkejutnya ia melihatku telah berjongkok dihadapannya. Gadis itu berteriak kalut, kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi telinganya.
“Jangan, jangan mendekat! Jangan bunuh aku!”
Gejolak rasa ketakutan muncul saat gadis itu menatapku. Aku bingung. Awan senja sudah berakhir beberapa menit yang lalu, tapi mengapa gadis itu hanya berdiam diri disini? Dan, mengapa gadis itu bisa berpikiran negative kepadaku bahwa aku akan membunuhnya?
Aku mengulurkan tangan, hendak menyentuh dahinya. Tetapi gadis itu menepis tanganku dengan kasar, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Namun ia membalas perlakuanku dengan tatapannya. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Aku menghela napas, akhirnya jalan yang kupilih untuk menenangkannya hanyalah menyerahkan jaket tebalku dan kupakaikan kepadanya. Beruntung, ia tak menolaknya.
Aku beranjak menjauh darinya. Hujan sudah reda tanpa kusadari. Aku pun segera melangkahkan kaki pergi dari gubuk kecil itu. Namun sebelumnya, aku menatap gadis itu lagi dari kejauhan.
“Aku pergi dulu..”
Gadis itu mengangguk samar. Aku tersenyum simpul, lalu kini aku benar-benar beranjak dari gubuk kecil itu. Meskipun sebenarnya sangatlah buruk meninggalkan seorang gadis sendirian malam-malam, tetapi hanya itu cara yang bisa kupilih.
Yah, setidaknya aku berpikir bahwa aku masih bisa bertemu dengan gadis itu. Meskipun aku tak tahu kapan waktunya.
~
Sebuah bangunan tua yang masih berdiri kokoh dihadapanku dengan total 3 hektar luasnya yang terkenal dengan sebutan Aswlource High school. Engganlah kedua kakiku untuk bergerak mendekati bangunan tua tersebut, terpaksanya mencari kelas dan segera terduduk manis disana, tanpa ada rasa sedikitpun keingin tahuan tentang sudut-sudut sekolah yang baru kuinjakkan untuk yang pertama kalinya.
Aku bosan. Bosan karena selama ini sekolahku tidak tetap. Selalu saja berpindah-pindah sesuai kemauan ayah. Kali ini juga akibat ulah ayah, aku bisa terdampar dan harus memulainya dari awal lagi untuk melanjutkan proses penerimaan ilmu yang sering terputus, juga interaksiku dengan teman-teman lamaku.
Aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Butuh proses dan cara yang memakan waktu lama agar aku bisa benar-benar mengerti akan proses sosialisasi. Dan kali ini, aku ingin duduk sendiri, menyendiri dan menyelesaikan masalah-demi masalah dengan mandiri. Aku tak butuh bantuan orang lain, setidaknya itulah apa kata hatiku.
Tiba-tiba, terngiang di benakku tentang kejadian kurang dari dua puluh empat jam yang sukses membuat rasa penasaranku melonjak-lonjak. Hujan deras saat detik-detik senja berakhir… Gubuk kecil ditepi taman bermain anak-anak… Dan, tentu saja, gadis pucat itu. Gadis berambut panjang dengan mata sayu yang memancarkan ketakutan mendalam saat melihatku. Gadis berkulit putih pucat yang berteriak dengan lantang ketika aku mencoba menyentuh dahinya. Serta gadis bergaun lusuh yang meringkuk disudut ruangan ketika rintik hujan sedang gencar-gencarnya membasahi tanah ini.
Kuhembuskan nafas dengan beratnya. Bukan hanya hal itu saja yang memenuhi pikiranku saat ini. Ada hal lain yang lebih menyakitkan untuk ku ketahui kebenarannya.
Dialah ayahku. Ayah kandungku yang tidak persis seperti ayah jika dilihat dari sikapnya kepada anak dan istrinya. Ayah yang bahkan tidak peduli dengan nasibku dan ibuku. Bahkan aku tak tahu apa pekerjaannya. Ia bekerja dari subuh hingga subuh berikutnya tanpa menghasilkan keringat jerih payah tanda ia bekerja. Tidak pernah terpikir olehnya untuk membiayai segala keperluanku dan ibuku.
Ibu pun sama saja. Ia nyaris tak pernah pulang. Sekali-sekali ia pulang hanya untuk memberiku uang saku, dan untuk mencukupi segala keperluanku. Aku tak tahu apa yang ibu lakukan diluar sana. Yang jelas, ibuku amatlah muak dengan perlakuan ayah yang jauh dari kasih sayang itu. Sebabnyalah, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri, melakukan segala sesuatu agar ia terhindar dari masalah demi masalah yang terbuat dari ayah.
“Kau.. siswa baru?”
Sebuah suara dari samping mejaku sukses membuatku terlonjak, hingga segala yang ada dipikiranku tadi buyar hanya dengan satu kalimat yang diucapkannya. Aku mendongak, memandang wajah yang memanggilku dengan seenaknya sendiri.
Seorang gadis dengan berpenampilan sederhana tengah menyunggingkan senyum terbaiknya kearahku, lalu dengan sigap ia menjulurkan tangan mungilnya dihadapanku.
“Salam kenal, aku Laura Cassandra.”
Aku masih belum bisa mencerna perkataan gadis itu dengan sempurna, karena otak dengan hatiku butuh sinkronisasi yang besar untuk mempercepat laju syaraf motorik dan sensorik dalam sumsum tulang belakangku, akibat terlalu banyak hal-hal yang menjadi beban hidupku.
Kepalaku pening seketika. Namun beruntung, aku masih bisa tersenyum dan membalas uluran tangan gadis itu.
“Alex Harrison,” Jawabku sekenanya, lalu dengan cepat kulepaskan genggaman tangan dengan gadis itu, bermaksud untuk mengabaikannya agar gadis itu pergi dari hadapanku. Aku sedang ingin menyendiri.
Namun hipotesaku hancur seketika bawasanya gadis itu malah duduk disampingku seraya bernyanyi-nyanyi riang. Sontak kutolehkan kepalaku dan kutatapnya dengan pancaran kilatan-kilatan tajam yang tersirat di kedua mataku. Gadis itu hanya nyengir tanpa dosa, menampilkan deretan gigi tetapnya yang tersusun rapi.
“Tempat dudukku memang disini, dan aku duduk sendiri karena jumlah siswa disini ganjil. Itu sebanya akulah teman sebangkumu,” Ujar gadis itu dengan polosnya. Aku menggerutu dalam diam. Rencanaku untuk menyendiri gagal total.
Sepertinya aku tak akan nyaman sebangku bersamanya.
insya Allah bersambung....
insya Allah bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar